MAKALAH
PRAKTIKUM KESEHATAN TERNAK
PEMERIKSAAN KLINIS
PADA BERBAGAI TERNAK
Oleh:
Nama
|
: RIZQY M. YACOB
|
NIM
|
: D1E010144
|
Kelas
|
: B
|
LABORATORIUM
KESEHATAN TERNAK
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah
SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
I.
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
II.
PEMBAHASAN.................................................................................................... 2
A.
Pemeriksaan umum............................................................................................ 2
B.
Pemeriksaan suhu tubuh..................................................................................... 4
C.
Pemeriksaan selaput lendir................................................................................. 4
D.
Pemeriksaan mata ............................................................................................. 5
III.
KESIMPULAN...................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sistem pencernaan adalah penghancuran bahan makanan (mekanis/enzimatis,
kimia dan mikrobia) dari bentuk komplek (molekul besar) menjadi sederhana
(bahan penyusun) dalam saluran cerna. Tujuan dari pencernaan itu sendiri adalah
untuk mengubah bahan komplek menjadi sederhana. Dan kegunaanya adalah untuk mempermudah penyerapan oleh vili usus.
Pada hewan bahan makanan yang diubah menjadi energi melalui pencernaan adalah
karbohidrat, lemak, protein. Sedangkan yang langsung diserap berupa vitamin,
mineral, hormon, air. Hewan mempunyai 4 aktivitas makanan, yaitu : prehensi
(mengambil makanan), mastikasi (mengunyah), salivasi (mensekresikan air ludah),
dan deglutisi (menelan). Dalam hal ini deglutisi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain : peristaltik (peristaltik esophagus mendorong bolus ke
arah lambung), tekanan buccopharyngeal (mendorong bolus ke sofagus), dan
gravitasi (membantu memudahkan jalannya bolus).
Ruminansia merupakan
binatang berkuku genap subordo dari ordo Artiodactyla disebut
juga mammalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa Latin
"ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Hewan ruminansia
umumnya herbivora atau pemakan tanaman, sehingga sebagian besar makanannya
adalah selulose, hemiselulose dan bahkan lignin yang semuanya dikategorikan
sebagai serat kasar. Hewan ini disebut juga hewan berlambung jamak atau polygastric
animal, karena lambungnya terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan
abomasum. Rumen merupakan bagian terbesar dan terpenting dalam mencerna serat
kasar, sehingga karena pentingnya rumen dalam proses pencernaan ruminansia,
maka timbul pelajaran khusus yang disebut ruminologi.
Rumen atau perut besar
merupakan bagian terbesar dari susunan lambung ruminansia. Namun rumen tidak
dapat dipisahkan dari ketiga bagian lainnya, oleh karena itu akan dibahas juga
mengenai retikulum, omasum, dan abomasum. Di samping metabolisme dalam tubuh,
pada ruminansia terjadi proses metabolisme dalam rumen oleh mikroorganisme
melalui proses fermentasi pakan. Fermentasi sendiri berasal dari bahasa
Latin fermentatio = dekomposisi enzimatik. Pelaku utama pada
proses fermentasi dalam rumen ialah mikroorganisme. Produk akhir dari
fermentasi adalah asam lemak terbang antara lain asam asetat, asam propionat,
asam butirat, asam formiat, asam valerat, asam suksinat, asam laktat, ammonia,
karbondioksida, dan air, yang bagi mikroorganismenya itu sendiri
merupakan limbah, namun bagi induk semang merupakan sumber energi.
Rumen merupakan satu
ekosistem ialah sistem ekologi yang di dalamnya terdapat komponen biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi. Unsur biotik dalam rumen antara lain bakteri,
protozoa, jamur, kapang dan lain-lain dari berbagai spesies dan unsur abiotik dalam rumen antara lain air, protein, serat kasar,
mineral, vitamin, gas, bahan sumber zat makanan dan beberapa isi rumen lainnya
yang semuanya direndam dalam cairan rumen. Di dalam ekosistem ini terjadi
variasi interaksi antara lain antar unsur biotik, antara unsur biotik dengan
unsur abiotik, serta interaksi antar unsur abiotik itu sendiri.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
anatomi dan fungsi alat pencernaan pada ruminansia ?
2.
Bagaimana
proses pencernaan pada ruminansia ?
3.
Apakah
sistem pencernaan mempengaruhi produksi susu dan faktor apa saja yang
mempengaruhinya ?
4.
Penyakit
apa saja yang mengganggu sistem pencernaan ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
anatomi dan alat pencernaan pada ruminansia.
2. Mengetahui proses pencernaan pada ruminansia.
3. Mengetahui
pengaruh sistem pencernaan pada produksi susu dan faktor yang mempengaruhinya
4. Mengetahui
macam-macam penyakit yang menggangu sistem pencernaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fungsi Alat Pencernaan pada
Ruminansia
Astuti,dkk (2001) menyatakan bahwa
sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan
beberapa organ yang bertanggung jawab pengambilan, penerimaan, pencernaan, dan
absorbs zat makanan mulai dari mulut sampai ke anus. Sistem pencernaan
bertanggung jawab pula terhadap pengeluaran bahan pakan yang dapat dicerna.
Sistem pencernaan terbagi menjadi dua bagian yaitu Tractus Alimentarius dan
Organa Accesorius. Tractus Alimentarius meliputi rongga mulut, faring,
esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, abomasum), usus halus, dan usus
besar. Organa Accesorius meliputi dentes, lingua, glandula salivarius, hepar,
pancreas, dan limpa.
2.1.1 Tractus
Alimentarius
a. Rongga Mulut
Rongga
mulut terdapat tiga alat pelengkap pencernaan yaitu gigi, lidah, glandula
salivarius. Berbeda dengan hewan lain ternak perah (termasuk kelompok ternak
ruminansia) pada maxilla tidak terdapat gigi seri dan gigi taring, sehingga
pada proses pengambilan pakan tergantung pada lidah, bibir, dan gigi pada mandibula. Mulut digunakan terutama guna menggiling makanan serta mencampurnya
dengan saliva, tetapi dapat juga berperan dalam mekanisme prehensi (menggigit),
dan juga sebagai senjata defensif maupun ofensif. Peran rongga mulut serta
struktur-stuktur yang terkait mencakup prehensi, mastikasi,insalivasi, serta pembentuk bolus.
Gigi
Gigi berkembang dari suatu invaginasi epitel yang dikenal sebagai lamina dental, yang membentuk organa enamel, suatu penutup yang menyerupai topi dan jaringan ikat, yang disebut papilla dental. Jaringan ikat yang terdapat di sekitar bagian bawah (pangkal) gigi membentuk semacam kantung dental (dental sac). Gigi (dentes) berdasarkan tumbuhnya dibagi menjadi dua yaitu dentes decidui dan dentes permanen sedangkan dentes berdasarkan letak dan bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, dentes incisive terletak dimuka dan tumbuh pada premaxilla dan mandibula, dentes canini terletak pada spatium interal veolaris, dan dentes premolaris dan molaris terletak pada sisi dari arcus dentalis.
Gigi berkembang dari suatu invaginasi epitel yang dikenal sebagai lamina dental, yang membentuk organa enamel, suatu penutup yang menyerupai topi dan jaringan ikat, yang disebut papilla dental. Jaringan ikat yang terdapat di sekitar bagian bawah (pangkal) gigi membentuk semacam kantung dental (dental sac). Gigi (dentes) berdasarkan tumbuhnya dibagi menjadi dua yaitu dentes decidui dan dentes permanen sedangkan dentes berdasarkan letak dan bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, dentes incisive terletak dimuka dan tumbuh pada premaxilla dan mandibula, dentes canini terletak pada spatium interal veolaris, dan dentes premolaris dan molaris terletak pada sisi dari arcus dentalis.
Rumusdentes decidui pada sapi :
0 0 3
2( DI - DC - DP )
3 3 3
Rumus dentes permanen pada sapi :
0 0 3 3
2( DI - DC - DP - DM )
4 0 3 3
Frandson (1992) menyatakan bahwa formula tersebut memperlihatkan gigi yang terdapat pada salah satu sisi mulut. Angka diatas menyatakan rahang atas, sedangkan sebaliknya adalah rahang bawah. Untuk menggambarkan seluruh gigi, formula tersebut harus dikalikan dua. Formula tetap pada sapi memperlihatkan tidak adanya gigi seri pada rahang atas, serta jumlah empat buah pada tiap sisi rahang bawah. Tidak juga terdapat gigi taring. Terdapat juga premolar dan tiga molar pada tiap sisi masing-masing rahang. Gusi terdiri atas suatu mukosa non glandular yang melekat erat pada tulang yang melandasinya.
Lidah
Lidah terdiri atas suatu masa otot yang tertutup oleh membrane mukosa. Otot hioglossus melekat pada simfisis mandible (chin), dan otot stiloglosus melekat sepanjang bagian dalam dari tulang tiohioid (Frandson, 1992). Lidah terletak pada lantai mulut antara kedua rani mandibula, yang terdiri dari tiga bagian yaitu, radix lingua, corpus lingua yang mempunyai 3 permukaan bebas (facies dorsalis, facies ventralis, dan facies lateralis), dan apex lingua yang berbentuk seperti spatula. Fungsi lidah yaitu membantu mengunyah (memutar) makanan dalam mulut dan membantu pembentukan bolus makanan (Astuti dkk, 2001).
Glandula salivarius
Saliva dihasilkan oleh enam kelenjar (glandula) salivarius yaitu, kelenjar parotidea, kelenjar submaxilaris, kelenjar sublingualis, kelenjar molar inferior, kelenjar bukalis, dan kelenjar labialis. Jumlah saliva yang dihasilkan pada sapi perah sekitar 75-125 liter perhari, sedangkan pada domba atau kambing perah sekitar 5-15 liter perhari. Fungsi saliva sebagia larutan penyangga, menstabilkan jumlah saliva rumen konsentrasi ion di dalam rumen, sebagai pelicin pakan untuk membentuk bolus, dan sebagai suplai nutrient karena 70% N-saliva terdiri dari NH4 (Astuti dkk, 2001).
b. Faring
Frandson (1992) menyatakan bahwa, faring merupakan saluran umum, baik untuk lewatnya makanan ataupun udara, dilapisi oleh membrana mukosa dan dikelilingi oleh otot-otot. Saluran yang menuju faring adalah mulut, dua hidung kaudal, dua saluran eustasian (telinga), esophagus, dan laring. Makanan masuk ke faring dari mulut dan kemudian didorong masuk ke dalam esophagus melalui kontraksi otot-otot faringeal.
c. Esophagus
Esophagus suatu kelanjutan langsung dari faring merupakan suatu saluran muscular yang merentang dari faring menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma. Panjangnya 125-150 cm (pada sapi). Bolus pakan yang dibentuk di dalam rongga mulut dapat berjalan melalui esophagus karena adanya gerakan anti peristaltic dari esophagus (Astuti dkk, 2001).
d. Lambung
Lambung ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu: rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Tiga bagian pertama lambung dikenal sebagai lambung depan dan abomasum disebut pula sebagai lambung sejati. Lambung depan mempunyai fungsi sangat penting sebagai tempat terjadinya fermentasi oleh mikroba, absorpsi dan sintesis protein mikroba. Sedangkan abomasum disebut sebagai lambung sejati karena baik secara anatomis maupun fisiologisnya sama dengan hewan berlambung tunggal.
Rumen
Suparwi (2011) menyatakan bahwa, rumen terletak disebelah kiri rongga abdominal, mulai dari tulang rusuk 7 dan 8 sampai dengan pelvis dan menempati 75% cavum abdominalis. Bagian sebelah kiri rumen menempel pada diaphragma dan dinding kiri rongga perut serta limpa; sedangkan bagian sebelah kanan berhubungan dengan omasum, abomasum, usus, hati, pancreas, ginjal sebelah kiri, aorta serta cava posterior. Didalam rumen dihuni mikroba 25-50 juta bakteri per ml cairan rumen, juga terdapat protozoa, fungi, bacteriophage, dan micloplasma. Bagian dalam rumen dilapisi dengan papilla yang menyerupai papilla lidah dan berfungsi untuk memperluas lapisan permukaan untuk proses absorpsi dan yang paling banyak diabsorpsi adalah VFA dan air. Bentuk dan ukuran papilla dipengaruhi oleh lama tinggal ingesta di dalam rumen sehingga pada bagian dorsal ukuran papilla rumen lebih pendek dari bagian ventral karena ingesta yang sukar dicerna akan tinggal di bagian ventral lebih lama. Kapasitas rumen 42,5 galon dan tidak ada sekresi. Rumen mempunyai empat kantong (sac), yaitu : kantong depan (cranial sac), dorsal sac, blind sac (dorso blind sac dan ventrocauda blind sac) dan vental sac. Antar kantong dibatasi pilar-pilar yang hanya berupa peninggian, bukan sekat. Fungsi kantong-kantong tersebut adalah untuk proses kontraksi atau gerakan-gerakan yang diperlukan selama terjadinya proses fermentasi.
Akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen adalah VFA (asetat, propionat, butirat), karbon dioksida dan methan. Karbohidrat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural (fraksi serat) dan karbohidrat non struktural (fraksi yang mudah tersedia). Selulosa dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) yang merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman. Paling banyak energi yang dihasilkan dalam bentuk VFA. Pemecahan karbohidrat menjadi VFA terjadi di perut rumen yang terdiri dari 2 tahap: 1). Hidrolisis ekstraseluler dari karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa, pektin) menjadi oligosakarida rantai pendek terutama disakarida (selobiosa, maltosa, pentosa) dan gula-gula sederhana. 2). Pemecahan oligosakarida dan gula-gula sederhana menjadi VFA oleh aktifitas enzim intraseluler. Asam lemak terbang (VFA) yang dominan (Asetat, Propionat, dan butirat) akan diserap melalui diding rumen, masuk kedalam sirkulasi darah dan di transportasikan ke jaringan tubuh ternak. Senyawa-senyawa tersebut akan mengalami proses metabolisme : 1. Katabolisme yang mensuplai energi, dan 2. Biosintesis misalnya, biosintesis glukosa dari asam propionat di dalam jaringan tubuh ternak. Dalam pencernaan ini dihasilkan pula produk ikutan berupa beberapa gas: metan (CH4), CO2 dan H2; yang dikeluarkan dari tubuh melalui proses eruktasi (belching/ bersendawa). Penyerapan asam lemak terbang (VFA) 75% diserap langsung dari retikulum masuk kedalam darah, 20% diserap dari abomasum dan omasum, 5% lolos masuk ke dalam usus halus untuk diserap masuk ke darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi VFA dalam rumen yaitu, makanan serat (sumber hijauan) akan menghasilkan lebih banyak asetat dari pada propionat sehingga lebih sesuai untuk ternak berproduksi air susu (kadar lemak tinggi). Makanan pati (biji-bijian/konsentrat tinggi) menghasilkan propionat tinggi, sesuai untuk ternak daging. Rasio antara konsentrat dan hijauan pakan. Bentuk fisik pakan (ukuran partikel)Level intake Frekuensi pemberian pakan.
Metabolisme VFA di dalam jaringan Tubuh Ternak VFA yang diserap dari retikulorumen melalui jaringan dimana VFA tersebut mengalami oksidasi dan perombakan menjadi energi ternak untuk biosintesa lemak atau glukosa. Jumlah setiap asam yang digunakan tersebut berbeda-beda menurut jenis VFA tersebut : 50% asam asetat dioksidasi di jaringan tubuh sapi perah sedangkan 2/3 asam butirat dan ½ asam propionat mengalami oksidasi tersebut. Metabolidme asam propionat dan butirat terjadi di dalam hati; 60% adalah asetat dimetabolilsmekan di jaringan perifer (otot dan adiposa) dan hanya 20% di metabolisasikan di hati. Produk fermentasi (VFA) di dalam rumen diserap melalui epitel rumen dan menjadi sumber energi utama pada ternak ruminasia.
Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa fungsi rumen adalah menyimpan bahan pakan sementara, merupakan tempat fermentasi, tempat absorpsi hasil akhir fermentasi, dan tempat pengadukan (mixing) dari ingesta. Menurut Suparwi (2011) menyatakan digesta di dalam retikulorumen terbagi menjadi 3 fase/lapis, yang terdapat paling ventral adalah digesta lama dan konsentrat yang mengendap. Sedangkan yang mengapung di bagian tengah adalah pakan baru (hari itu) dan yang paling atas adalah gas, sehingga gas lebih mudah untuk dikeluarkan (eruktasi). Adanya 3 fase digesta tersebut harus diaduk, agar terbentuk biomass dan kontak mikroba dengan partikel pakan semakin baik, oleh karen itu rumen selalu berkontraksi.Fungsi kontraksi rumen yaitu mencampur pakan (digesta) yang baru masuk ke dalam rumen dengan pakan yang lama, mobilisasi produk fermentasi agar dapat menempel pada papillae dinding rumen untuk diserap, memisahkan antara partikel pakan yang halus dengan yang masih kasar, membentuk bolus untuk diregurgitasikan, sinergis antara kontraksi rumen dengan ruminansi, dan pengeluaran gas (eruktasi) hasil fermentasi.
Reticulum
Reticulum terletak antara tulang rusuk 6 – 8 cm sampai pelvis (tulang pinggang), disebut juga honeycomb, karena permukaannya seperti sarang lebah. Tidak ada yang disekresikan dan sangat berperan dalam pembentukan bolus (jamak disebut boli). Permukaan reticulum yang berkotak-kotak tersebut berfungsi untuk absorpsi dan dapat menahan partikel pakan untuk dicerna dan mendorong bolus ke cardia (lubang antara pangkal esophagus dengan reticulum) untuk diregurgitasikan (Suparwi, 2011).
Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa, fungsi reticulum yaitu memudahkan pakan dicerna ke rumen maupun ke omasum, membantu proses ruminansi, mengatur arus ingesta dari retikulo-rumen ke omasum melalui retikulo-omasal orificium, merupakan tempat fermentasi, tempat absorpsi hasil akhir fermentasi, dan tempat berkumpulnya benda-benda asing yang terbawa saat mengkonsumsi pakan.
Omasum
Omasum terletak di sebelah kanan garis median atau disebelah rusuk ke 7 - 11, berbentuk ellips dan dihubungkan dengan reticulum oleh saluran sempit dan pendek yang disebut orificium reticulo-omasal. Bagian dalam omasum terdapat lembaran-lembaran atau laminae yang merupakan lipatan longitudinal dari bagian dalam omasum, membentuk lembaran-lembaran seperti buku, sehingga omasum sering disebut juga perut buku. Pada laminae terdapat tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan papillae yang berfungsi untuk absorpsi (Astuti dkk, 2001). Suparwi (2011) juga menambahkan bahwa adanya lipatan pada omasum memperluas permukaan omasum, lebih kurang 1/3 total lambung depan dan proses absorpsinya lebih cepat. Partikel pakan yang masuk omasum dicerna diantara laminae, sehingga partikel pakan tersebut tereduksi. Absorpsi air mencapai 60% dan VFA 10% dari total produksi. Absorpsi VFA hanya 10% tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah masuknya VFA ke abomasum yang dapat mengganggu proses pencernaan hidrolitik, karena VFA merupakan asam lemak. Bahan kering digesta yang meninggalkan omasum 60-70%. Kapasitas omasum sapi dewasa 4 gallon. Setelah omasum, saluran pencernaan ke belakang adalah abomasum. Menurut Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa, fungsi omasum yaitu mengatur arus ingesta ke abomasum melalui omaso-abomasal orificium, tempat memperkecil ukuran partikel ingesta, tempat menyaring ingesta yang kasar, dan tempat fermentasi dan absorpsi.
Abomasum
Frandson (1992) menyatakan bahwa, abomasum atau perut sejati merupakan suatu bagian glandula yang pertama dari sistem pencernaan pada ruminansia. Disebut juga perut sejati karena disinilah tempat disekresikan cairan lambung oleh sel-sel abomasums dan bagian lambung ke-4 yang terjadi pencernaan secara enzimatik. Abomasum terletak di dasar rongga perut, merupakan bagian yang memanjang dekat rusuk ke 9-10. Terdiri dari tiga bagian, yaitu cardia, berhubungan dengan omasum, fundica, merupakan bagian terbesar, dan pylorica, merupakan bagian terkecil yang berhubungan dengan duodenum. Fungsi abomasums yaitu mengatur arus ingesta dari abomasums menuju ke duodenum dan merupakan tempat pencernaan secara enzimatik.
e. Usus Halus
Usus halus secara anatomi dibagi menjadi 3 yaitu duodenum yang berhubungan dengan abomasum, jejunum merupakan bagian tengah, dan ileum yang berhubungan dengan usus besar. Didalam usus halus akan masuk empat macam sekresi, yaitu cairan duodenum, empedu, cairan pancreas, dan cairan usus (Astuti dkk, 2001).
f. Usus besar
Usus besar (intestinum crasum) terdiri dari caecum, colon, crasum, colon tenue dan rectum. Kondisi di dalam caecum dan colon secara umum tidak berbeda dengan kondisi di rumen yaitu tempat fermentasi oleh mikroba. Meskipun demikian VFA yang dihasilkan dari caecum dan colon lebih rendah dibanding VFA yang dihasilkan di lambung depan. Rectum dan colon merupakan bagian terakhir dari usus, dengan panjang sekitar 30cm. bagian pertama dari rectum seperti halnya colon dan bagian yang lain merupakan ampulla recti, sedangkan yang membesar adalah anus merupakan bagian terakhir dari tractus alimentarius, terletak di bagian bawah dari pangkal ekor (Astuti dkk, 2001).
2.1.2 Organa Accesorius
a. Hepar
Hepar merupakan kelenjar yang paling besar dalam tubuh ternak perah, sebagian besar terletak di sebelah kanan garis median. Warna merah coklat berisi darah kotor. Hepar berfungsi untuk menyimpan dan membentuk glikogen, mensekresikan empedu, dan mengurangi penyerapan asam lemak (Astuti dkk, 2001).
b. Pancreas
Pancreas merupakan alat pelengkap pencernaan yang bentuknya tidak teratur, terletak pada dinding dorsal cavum abdominalis (bagian atas dinding rongga perut) sebagian besar terletak disebelah kanan garis median. Berat pancreas pada sapi sekitar 350 gram, ketika masih segar berwarna krem kemerahan, cepat mengalami dekomposisi sehingga berwarna gelap (kehitaman). Hasil pancreas disalurkan oleh dua ductus yaitu ductus pancreaticus dan ductus pancreaticus accesorius (Astuti dkk, 2001).
c. Lympha
Terletak di sisi kiri lambung, dengan warna merah gelap ke abu-abuan, berbentuk seperti sabit. Pada sapi mempunyai berat sekitar 3kg, panjang 50cm, lebar 20-25cm. Fungsi lympha yang utama adalah menyimpan darah yang tidak ikut peredaran darah (Astuti dkk, 2001).
2.2 Proses Pencernaan pada Ruminansia
Mekanisme pencernaan makanan hewan ruminansia adalah pakan berupa rumput yang dikunyah di dalam mulut dengan bantuan gigi, lidah, dan kelenjar saliva. Di rongga mulut terjadi proses pencernaan mekanik dengan beberapa tahapan yaitu, prehensi (proses pengambilan pakan dengan bantuan lidah), mastikasi (pengunyahan pakan dengan tujuan untuk memperkecil volume pakan), insalivasi (proses penelanan, membasahi pakan dengan saliva, dan degluitasi (proses penelanan pakan). Suparwi (2011) menyatakan bahwa kelenjar - kelenjar saliva terdiri dari kelenjar serous, kelenjar muscuc, dan kelenjar campuran. Komposisi saliva dikontrol oleh cortex adrenal yang menghasilkan hormon aldosterone dan ginjal oleh rennin. Faktor yang mempengaruhi komposisi saliva adalah ada tidaknya sodium. peran saliva sebagai buffer di dalam rumen sangat signifikan, karena hasil fermentasi di dalam rumen adalah asam organik berkonsentrasi tinggi. apabila tidak ada saliva, pH isi rumen sangat asam yaitu 2,8 - 3,0 padahal secara normal pH rumen adalah 6-7. Pakan kemudian masuk ke dalam rumen melalui esophagus, pakan disimpan sementara di dalam rumen. di rumen terdapat populasi bakteri yang jumlahnya sekitar 1010 – 1011 sel/gram isi rumen, protozoa 105 – 106 sel/gram isi rumen, dan fungi 102 – 103 sel/gram isi rumen sehingga di rumen terjadi proses pencernaan fermentatif dikarenakan adanya mikroorganisme yang membantu proses pencernaan pakan. Menurut Harfiah (2009) menyatakan bahwa di dalam rumen terdapat mikroorganisme yang dapat mencerna serat, kecuali apabila serat tersebut dalam bentuk terkristal dan kandungan lignin yang tinggi. Mikroorganisme rumen dapat mendegradasi karbohidrat pakan, baik dalam bentuk kompleks seperti selulosa maupun yang lebih sederhana yaitu pati dan gula. Selulosa sendiri tidak dapat langsung digunakan oleh ruminansia tanpa dicerna terlebih dahulu oleh mikroorganisme rumen. Mikroba yang ada dalam rumen juga mampu mensintesis protein dalam ransum yang sumbernya bukan dari protein (NPN). Protein hasil sintesis inilah yang menjadi sumber utama protein bagi ruminansia.
Pakan menuju retikulum dan dicerna di dalamnya. Di retikulum juga terjadi pencernaan fermentatif dan tempat disaringnya benda - benda asing yang terbawa saat mengkonsumsi pakan serta membantu proses ruminansi. Proses ruminansi yaitu proses pencernaan bahan pakan yang telah dimakan dan masuk ke dalam lambung dikembalikan lagi ke mulut dan dikunyah lagi, kemudian ditelan kembali. Pakan yang telah dicerna di retikulum kemudian dikeluarkan atau dimuntahkan kembali ke mulut yaitu proses remastikasi (pengunyahan kembali yang terjadi lebih santai dibandingkan dengan pengunyahan pertama) dan reinsalivasi (pencampuran kembali dengan saliva ketika dikunyah), dan redegluitasi (penelanan kembali). Kemudian masuk kembali ke rumen dan retikulum, proses ini disebut memamah biak. selanjutnya pakan masuk ke omasum, disini terjadi proses penyerapan air. di omasum pakan menjadi lebih padat dan kering karena sudah terjadi penyerapan. Setelah penyerapan selesai pakan diteruskan ke abomasum (perut sejati), disini terjadi proses pencernaan enzimatik karena di dalam abomasum terdiri dari kelenjar - kelenjar yang menghasilkan HCl dan pepsinogen, Pakan yang sudah dicerna di abomasum akan diteruskan ke usus halus. Di usus halus terjadi proses penyerapan sari - sari makanan atau nutrien, sisa - sisa makanan yang tidak diserap dikirim ke usus besar. Setelah mengalami penyerapan air, sisa makanan berupa ampas dikeluarkan melalui anus.
2.3 Pengaruh Sistem Pencernaan terhadap Produksi Susu dan Faktor yang Mempengaruhinya
Ako (2011) menyatakan bahwa, komponen dan zat gizi pada air susu antara lain; air, lemak (trigliserida, vitamin yang larut dalam lemak, carotein), protein (kasein, protein whey), lactose, mineral, vitamin yang larut dalam air. Adapun faktor yang mempengaruhi produksi susu pada ternak perah yaitu, faktor internal yang mempengaruhi produksi dan kualitas`air susu antara lain breed, keturunan, masa laktasi, umur, kondisi ternak, siklus estrus dan kebuntingan, sedangkan faktor eksternal antara lain musim, frekuensi pemerahan, pergantian pemerah, masa kering, calving interval, obat-obatan, hormon, penyakit dan makanan atau nutrisi. Faktor yang mempengaruhi sistem pencernaan terhadap produksi susu yaitu zat nutrisi pakan, jenis pakan, dan pemberian pakan dalam jumlah seimbang yang diberikan kepada ternak perah. Sesuai dengan Mc Donald et al (1988) dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa pemberian formula ransum yang tepat merupakan hal penting dalam efisiensi pemanfaatannya, kekurangan satu atau lebih zat makanan akan menurunkan efisiensi produk.
Campbell (1961) menuturkan dalam Siregar (2001) menyatakan bahwa sapi perah yang mempunyai kemampuan berproduksi susu tinggi membutuhkan zat gizi yang relatif banyak dalam pakannya. Pemberian pakan dua kali dalam sehari menyebabkan ketidakmampuan sapi perah untuk mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang relatif banyak. Hal ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan meningkatkan frekuensi pemberian pakan lebih dari dua kali dalam sehari. Penelitian yang dilakukan pada sapi perah yang sedang berproduksi susu menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali sehari akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan, kadar lemak susu, dan produksi susu. Penelitian yang dilakukan Mccullough (1973) dalam Siregar (2001) pada sapi-sapi perah yang sedang berproduksi di Denmark menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan empat kali dalam sehari ternyata mampu meningkatkan kemampuan berproduksi susu sampai dengan 54,8%.
Preston dan Leng (1987) menyatakan dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa sapi pada umumnya hanya diberikan rumput sebanyak 10% dari bobot hidup. Pemberian rumput yang berlebihan akan mempercepat distensi lambung, karena rumput bersifat amba, akibatnya ternak akan berhenti mengkonsumsi ransum, meskipun kebutuhan nutrisinya belum terpenuhi. Di lapang sering peternak memberikan rumput kurang dari 10% karena ketersediaan rumput terbatas, akibatnya ternak menderita kekurangan makanan terutama energi. penurunan presentase rumput dalam rumen akan mengakibatkan produksi asam asetat dalam rumen yang merupakan sumber energi untuk sapi serta prekursor asam lemak susu menurun. Sebaliknya bila presentase rumput dalam ransum semakin meningkat. Asam lemak susu akan menurun bila asam asetat dalam rumen kurang dari 40% atau lebih dari 60% dalam total asam lemak terbang. Pemberian hijauan dalam ransum dapat meningkatkan proporsi asam asetat pada total VFA rumen. Oleh karena itu, rumput sebagai sumber hijauan dalam ransum sapi tidak boleh kurang pemberiannya. Kekurangan atau kelebihan hijauan dalam ransum akan berpengaruh pada tingkat kelarutan dan tingkat retensi ransum tersebut, yang pada gilirannya akan mengurangi konsumsi ransum dan produksi(Mc Graham, 1964 dalam Suherman 2005.
Variasi dalam produksi susu dan lemak pada beberapa peternakan sapi perah disebabkan oleh perbedaan dalam makanan dan tatalaksananya. Makanan yang terlalu banyak konsentrat akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Menurut Lubis (1989) dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa pemberian protein 14% dalam ransum dibandingkan 18% tidak memberikan perbedaan produksi susu, sehingga pemberian protein atau konsentrat yang berlebihan tidak efisien. Jumlah konsumsi protein lebih penting daripada kadarnya dalam ransum. Van Soest (1982) dalam Suherman (2005) menambahkan bahwa kelebihan pemberian konsentrat selain tidak efisien karena harganya juga mahal dapat menyebabkan perkembangan mikroba rumen berubah dan rumen menjadi kurang mampu mencerna serat. Akibat lain dapat meningkatkan produksi metan dan menyebabkan kelainan pada abomasum sapi yang pada akhirnya dapat merusak sistem pencernaan dan menurunnya produksi susu.
Ada beberapa cara pemberian makanan untuk menekan peningkatan kandungan lemak susu dan merangsang peningkatan produksi susu seperti:
0 0 3
2( DI - DC - DP )
3 3 3
Rumus dentes permanen pada sapi :
0 0 3 3
2( DI - DC - DP - DM )
4 0 3 3
Frandson (1992) menyatakan bahwa formula tersebut memperlihatkan gigi yang terdapat pada salah satu sisi mulut. Angka diatas menyatakan rahang atas, sedangkan sebaliknya adalah rahang bawah. Untuk menggambarkan seluruh gigi, formula tersebut harus dikalikan dua. Formula tetap pada sapi memperlihatkan tidak adanya gigi seri pada rahang atas, serta jumlah empat buah pada tiap sisi rahang bawah. Tidak juga terdapat gigi taring. Terdapat juga premolar dan tiga molar pada tiap sisi masing-masing rahang. Gusi terdiri atas suatu mukosa non glandular yang melekat erat pada tulang yang melandasinya.
Lidah
Lidah terdiri atas suatu masa otot yang tertutup oleh membrane mukosa. Otot hioglossus melekat pada simfisis mandible (chin), dan otot stiloglosus melekat sepanjang bagian dalam dari tulang tiohioid (Frandson, 1992). Lidah terletak pada lantai mulut antara kedua rani mandibula, yang terdiri dari tiga bagian yaitu, radix lingua, corpus lingua yang mempunyai 3 permukaan bebas (facies dorsalis, facies ventralis, dan facies lateralis), dan apex lingua yang berbentuk seperti spatula. Fungsi lidah yaitu membantu mengunyah (memutar) makanan dalam mulut dan membantu pembentukan bolus makanan (Astuti dkk, 2001).
Glandula salivarius
Saliva dihasilkan oleh enam kelenjar (glandula) salivarius yaitu, kelenjar parotidea, kelenjar submaxilaris, kelenjar sublingualis, kelenjar molar inferior, kelenjar bukalis, dan kelenjar labialis. Jumlah saliva yang dihasilkan pada sapi perah sekitar 75-125 liter perhari, sedangkan pada domba atau kambing perah sekitar 5-15 liter perhari. Fungsi saliva sebagia larutan penyangga, menstabilkan jumlah saliva rumen konsentrasi ion di dalam rumen, sebagai pelicin pakan untuk membentuk bolus, dan sebagai suplai nutrient karena 70% N-saliva terdiri dari NH4 (Astuti dkk, 2001).
b. Faring
Frandson (1992) menyatakan bahwa, faring merupakan saluran umum, baik untuk lewatnya makanan ataupun udara, dilapisi oleh membrana mukosa dan dikelilingi oleh otot-otot. Saluran yang menuju faring adalah mulut, dua hidung kaudal, dua saluran eustasian (telinga), esophagus, dan laring. Makanan masuk ke faring dari mulut dan kemudian didorong masuk ke dalam esophagus melalui kontraksi otot-otot faringeal.
c. Esophagus
Esophagus suatu kelanjutan langsung dari faring merupakan suatu saluran muscular yang merentang dari faring menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma. Panjangnya 125-150 cm (pada sapi). Bolus pakan yang dibentuk di dalam rongga mulut dapat berjalan melalui esophagus karena adanya gerakan anti peristaltic dari esophagus (Astuti dkk, 2001).
d. Lambung
Lambung ruminansia terdiri dari 4 bagian yaitu: rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Tiga bagian pertama lambung dikenal sebagai lambung depan dan abomasum disebut pula sebagai lambung sejati. Lambung depan mempunyai fungsi sangat penting sebagai tempat terjadinya fermentasi oleh mikroba, absorpsi dan sintesis protein mikroba. Sedangkan abomasum disebut sebagai lambung sejati karena baik secara anatomis maupun fisiologisnya sama dengan hewan berlambung tunggal.
Rumen
Suparwi (2011) menyatakan bahwa, rumen terletak disebelah kiri rongga abdominal, mulai dari tulang rusuk 7 dan 8 sampai dengan pelvis dan menempati 75% cavum abdominalis. Bagian sebelah kiri rumen menempel pada diaphragma dan dinding kiri rongga perut serta limpa; sedangkan bagian sebelah kanan berhubungan dengan omasum, abomasum, usus, hati, pancreas, ginjal sebelah kiri, aorta serta cava posterior. Didalam rumen dihuni mikroba 25-50 juta bakteri per ml cairan rumen, juga terdapat protozoa, fungi, bacteriophage, dan micloplasma. Bagian dalam rumen dilapisi dengan papilla yang menyerupai papilla lidah dan berfungsi untuk memperluas lapisan permukaan untuk proses absorpsi dan yang paling banyak diabsorpsi adalah VFA dan air. Bentuk dan ukuran papilla dipengaruhi oleh lama tinggal ingesta di dalam rumen sehingga pada bagian dorsal ukuran papilla rumen lebih pendek dari bagian ventral karena ingesta yang sukar dicerna akan tinggal di bagian ventral lebih lama. Kapasitas rumen 42,5 galon dan tidak ada sekresi. Rumen mempunyai empat kantong (sac), yaitu : kantong depan (cranial sac), dorsal sac, blind sac (dorso blind sac dan ventrocauda blind sac) dan vental sac. Antar kantong dibatasi pilar-pilar yang hanya berupa peninggian, bukan sekat. Fungsi kantong-kantong tersebut adalah untuk proses kontraksi atau gerakan-gerakan yang diperlukan selama terjadinya proses fermentasi.
Akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen adalah VFA (asetat, propionat, butirat), karbon dioksida dan methan. Karbohidrat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural (fraksi serat) dan karbohidrat non struktural (fraksi yang mudah tersedia). Selulosa dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) yang merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman. Paling banyak energi yang dihasilkan dalam bentuk VFA. Pemecahan karbohidrat menjadi VFA terjadi di perut rumen yang terdiri dari 2 tahap: 1). Hidrolisis ekstraseluler dari karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa, pektin) menjadi oligosakarida rantai pendek terutama disakarida (selobiosa, maltosa, pentosa) dan gula-gula sederhana. 2). Pemecahan oligosakarida dan gula-gula sederhana menjadi VFA oleh aktifitas enzim intraseluler. Asam lemak terbang (VFA) yang dominan (Asetat, Propionat, dan butirat) akan diserap melalui diding rumen, masuk kedalam sirkulasi darah dan di transportasikan ke jaringan tubuh ternak. Senyawa-senyawa tersebut akan mengalami proses metabolisme : 1. Katabolisme yang mensuplai energi, dan 2. Biosintesis misalnya, biosintesis glukosa dari asam propionat di dalam jaringan tubuh ternak. Dalam pencernaan ini dihasilkan pula produk ikutan berupa beberapa gas: metan (CH4), CO2 dan H2; yang dikeluarkan dari tubuh melalui proses eruktasi (belching/ bersendawa). Penyerapan asam lemak terbang (VFA) 75% diserap langsung dari retikulum masuk kedalam darah, 20% diserap dari abomasum dan omasum, 5% lolos masuk ke dalam usus halus untuk diserap masuk ke darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi VFA dalam rumen yaitu, makanan serat (sumber hijauan) akan menghasilkan lebih banyak asetat dari pada propionat sehingga lebih sesuai untuk ternak berproduksi air susu (kadar lemak tinggi). Makanan pati (biji-bijian/konsentrat tinggi) menghasilkan propionat tinggi, sesuai untuk ternak daging. Rasio antara konsentrat dan hijauan pakan. Bentuk fisik pakan (ukuran partikel)Level intake Frekuensi pemberian pakan.
Metabolisme VFA di dalam jaringan Tubuh Ternak VFA yang diserap dari retikulorumen melalui jaringan dimana VFA tersebut mengalami oksidasi dan perombakan menjadi energi ternak untuk biosintesa lemak atau glukosa. Jumlah setiap asam yang digunakan tersebut berbeda-beda menurut jenis VFA tersebut : 50% asam asetat dioksidasi di jaringan tubuh sapi perah sedangkan 2/3 asam butirat dan ½ asam propionat mengalami oksidasi tersebut. Metabolidme asam propionat dan butirat terjadi di dalam hati; 60% adalah asetat dimetabolilsmekan di jaringan perifer (otot dan adiposa) dan hanya 20% di metabolisasikan di hati. Produk fermentasi (VFA) di dalam rumen diserap melalui epitel rumen dan menjadi sumber energi utama pada ternak ruminasia.
Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa fungsi rumen adalah menyimpan bahan pakan sementara, merupakan tempat fermentasi, tempat absorpsi hasil akhir fermentasi, dan tempat pengadukan (mixing) dari ingesta. Menurut Suparwi (2011) menyatakan digesta di dalam retikulorumen terbagi menjadi 3 fase/lapis, yang terdapat paling ventral adalah digesta lama dan konsentrat yang mengendap. Sedangkan yang mengapung di bagian tengah adalah pakan baru (hari itu) dan yang paling atas adalah gas, sehingga gas lebih mudah untuk dikeluarkan (eruktasi). Adanya 3 fase digesta tersebut harus diaduk, agar terbentuk biomass dan kontak mikroba dengan partikel pakan semakin baik, oleh karen itu rumen selalu berkontraksi.Fungsi kontraksi rumen yaitu mencampur pakan (digesta) yang baru masuk ke dalam rumen dengan pakan yang lama, mobilisasi produk fermentasi agar dapat menempel pada papillae dinding rumen untuk diserap, memisahkan antara partikel pakan yang halus dengan yang masih kasar, membentuk bolus untuk diregurgitasikan, sinergis antara kontraksi rumen dengan ruminansi, dan pengeluaran gas (eruktasi) hasil fermentasi.
Reticulum
Reticulum terletak antara tulang rusuk 6 – 8 cm sampai pelvis (tulang pinggang), disebut juga honeycomb, karena permukaannya seperti sarang lebah. Tidak ada yang disekresikan dan sangat berperan dalam pembentukan bolus (jamak disebut boli). Permukaan reticulum yang berkotak-kotak tersebut berfungsi untuk absorpsi dan dapat menahan partikel pakan untuk dicerna dan mendorong bolus ke cardia (lubang antara pangkal esophagus dengan reticulum) untuk diregurgitasikan (Suparwi, 2011).
Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa, fungsi reticulum yaitu memudahkan pakan dicerna ke rumen maupun ke omasum, membantu proses ruminansi, mengatur arus ingesta dari retikulo-rumen ke omasum melalui retikulo-omasal orificium, merupakan tempat fermentasi, tempat absorpsi hasil akhir fermentasi, dan tempat berkumpulnya benda-benda asing yang terbawa saat mengkonsumsi pakan.
Omasum
Omasum terletak di sebelah kanan garis median atau disebelah rusuk ke 7 - 11, berbentuk ellips dan dihubungkan dengan reticulum oleh saluran sempit dan pendek yang disebut orificium reticulo-omasal. Bagian dalam omasum terdapat lembaran-lembaran atau laminae yang merupakan lipatan longitudinal dari bagian dalam omasum, membentuk lembaran-lembaran seperti buku, sehingga omasum sering disebut juga perut buku. Pada laminae terdapat tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan papillae yang berfungsi untuk absorpsi (Astuti dkk, 2001). Suparwi (2011) juga menambahkan bahwa adanya lipatan pada omasum memperluas permukaan omasum, lebih kurang 1/3 total lambung depan dan proses absorpsinya lebih cepat. Partikel pakan yang masuk omasum dicerna diantara laminae, sehingga partikel pakan tersebut tereduksi. Absorpsi air mencapai 60% dan VFA 10% dari total produksi. Absorpsi VFA hanya 10% tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah masuknya VFA ke abomasum yang dapat mengganggu proses pencernaan hidrolitik, karena VFA merupakan asam lemak. Bahan kering digesta yang meninggalkan omasum 60-70%. Kapasitas omasum sapi dewasa 4 gallon. Setelah omasum, saluran pencernaan ke belakang adalah abomasum. Menurut Astuti dkk (2001) menyatakan bahwa, fungsi omasum yaitu mengatur arus ingesta ke abomasum melalui omaso-abomasal orificium, tempat memperkecil ukuran partikel ingesta, tempat menyaring ingesta yang kasar, dan tempat fermentasi dan absorpsi.
Abomasum
Frandson (1992) menyatakan bahwa, abomasum atau perut sejati merupakan suatu bagian glandula yang pertama dari sistem pencernaan pada ruminansia. Disebut juga perut sejati karena disinilah tempat disekresikan cairan lambung oleh sel-sel abomasums dan bagian lambung ke-4 yang terjadi pencernaan secara enzimatik. Abomasum terletak di dasar rongga perut, merupakan bagian yang memanjang dekat rusuk ke 9-10. Terdiri dari tiga bagian, yaitu cardia, berhubungan dengan omasum, fundica, merupakan bagian terbesar, dan pylorica, merupakan bagian terkecil yang berhubungan dengan duodenum. Fungsi abomasums yaitu mengatur arus ingesta dari abomasums menuju ke duodenum dan merupakan tempat pencernaan secara enzimatik.
e. Usus Halus
Usus halus secara anatomi dibagi menjadi 3 yaitu duodenum yang berhubungan dengan abomasum, jejunum merupakan bagian tengah, dan ileum yang berhubungan dengan usus besar. Didalam usus halus akan masuk empat macam sekresi, yaitu cairan duodenum, empedu, cairan pancreas, dan cairan usus (Astuti dkk, 2001).
f. Usus besar
Usus besar (intestinum crasum) terdiri dari caecum, colon, crasum, colon tenue dan rectum. Kondisi di dalam caecum dan colon secara umum tidak berbeda dengan kondisi di rumen yaitu tempat fermentasi oleh mikroba. Meskipun demikian VFA yang dihasilkan dari caecum dan colon lebih rendah dibanding VFA yang dihasilkan di lambung depan. Rectum dan colon merupakan bagian terakhir dari usus, dengan panjang sekitar 30cm. bagian pertama dari rectum seperti halnya colon dan bagian yang lain merupakan ampulla recti, sedangkan yang membesar adalah anus merupakan bagian terakhir dari tractus alimentarius, terletak di bagian bawah dari pangkal ekor (Astuti dkk, 2001).
2.1.2 Organa Accesorius
a. Hepar
Hepar merupakan kelenjar yang paling besar dalam tubuh ternak perah, sebagian besar terletak di sebelah kanan garis median. Warna merah coklat berisi darah kotor. Hepar berfungsi untuk menyimpan dan membentuk glikogen, mensekresikan empedu, dan mengurangi penyerapan asam lemak (Astuti dkk, 2001).
b. Pancreas
Pancreas merupakan alat pelengkap pencernaan yang bentuknya tidak teratur, terletak pada dinding dorsal cavum abdominalis (bagian atas dinding rongga perut) sebagian besar terletak disebelah kanan garis median. Berat pancreas pada sapi sekitar 350 gram, ketika masih segar berwarna krem kemerahan, cepat mengalami dekomposisi sehingga berwarna gelap (kehitaman). Hasil pancreas disalurkan oleh dua ductus yaitu ductus pancreaticus dan ductus pancreaticus accesorius (Astuti dkk, 2001).
c. Lympha
Terletak di sisi kiri lambung, dengan warna merah gelap ke abu-abuan, berbentuk seperti sabit. Pada sapi mempunyai berat sekitar 3kg, panjang 50cm, lebar 20-25cm. Fungsi lympha yang utama adalah menyimpan darah yang tidak ikut peredaran darah (Astuti dkk, 2001).
2.2 Proses Pencernaan pada Ruminansia
Mekanisme pencernaan makanan hewan ruminansia adalah pakan berupa rumput yang dikunyah di dalam mulut dengan bantuan gigi, lidah, dan kelenjar saliva. Di rongga mulut terjadi proses pencernaan mekanik dengan beberapa tahapan yaitu, prehensi (proses pengambilan pakan dengan bantuan lidah), mastikasi (pengunyahan pakan dengan tujuan untuk memperkecil volume pakan), insalivasi (proses penelanan, membasahi pakan dengan saliva, dan degluitasi (proses penelanan pakan). Suparwi (2011) menyatakan bahwa kelenjar - kelenjar saliva terdiri dari kelenjar serous, kelenjar muscuc, dan kelenjar campuran. Komposisi saliva dikontrol oleh cortex adrenal yang menghasilkan hormon aldosterone dan ginjal oleh rennin. Faktor yang mempengaruhi komposisi saliva adalah ada tidaknya sodium. peran saliva sebagai buffer di dalam rumen sangat signifikan, karena hasil fermentasi di dalam rumen adalah asam organik berkonsentrasi tinggi. apabila tidak ada saliva, pH isi rumen sangat asam yaitu 2,8 - 3,0 padahal secara normal pH rumen adalah 6-7. Pakan kemudian masuk ke dalam rumen melalui esophagus, pakan disimpan sementara di dalam rumen. di rumen terdapat populasi bakteri yang jumlahnya sekitar 1010 – 1011 sel/gram isi rumen, protozoa 105 – 106 sel/gram isi rumen, dan fungi 102 – 103 sel/gram isi rumen sehingga di rumen terjadi proses pencernaan fermentatif dikarenakan adanya mikroorganisme yang membantu proses pencernaan pakan. Menurut Harfiah (2009) menyatakan bahwa di dalam rumen terdapat mikroorganisme yang dapat mencerna serat, kecuali apabila serat tersebut dalam bentuk terkristal dan kandungan lignin yang tinggi. Mikroorganisme rumen dapat mendegradasi karbohidrat pakan, baik dalam bentuk kompleks seperti selulosa maupun yang lebih sederhana yaitu pati dan gula. Selulosa sendiri tidak dapat langsung digunakan oleh ruminansia tanpa dicerna terlebih dahulu oleh mikroorganisme rumen. Mikroba yang ada dalam rumen juga mampu mensintesis protein dalam ransum yang sumbernya bukan dari protein (NPN). Protein hasil sintesis inilah yang menjadi sumber utama protein bagi ruminansia.
Pakan menuju retikulum dan dicerna di dalamnya. Di retikulum juga terjadi pencernaan fermentatif dan tempat disaringnya benda - benda asing yang terbawa saat mengkonsumsi pakan serta membantu proses ruminansi. Proses ruminansi yaitu proses pencernaan bahan pakan yang telah dimakan dan masuk ke dalam lambung dikembalikan lagi ke mulut dan dikunyah lagi, kemudian ditelan kembali. Pakan yang telah dicerna di retikulum kemudian dikeluarkan atau dimuntahkan kembali ke mulut yaitu proses remastikasi (pengunyahan kembali yang terjadi lebih santai dibandingkan dengan pengunyahan pertama) dan reinsalivasi (pencampuran kembali dengan saliva ketika dikunyah), dan redegluitasi (penelanan kembali). Kemudian masuk kembali ke rumen dan retikulum, proses ini disebut memamah biak. selanjutnya pakan masuk ke omasum, disini terjadi proses penyerapan air. di omasum pakan menjadi lebih padat dan kering karena sudah terjadi penyerapan. Setelah penyerapan selesai pakan diteruskan ke abomasum (perut sejati), disini terjadi proses pencernaan enzimatik karena di dalam abomasum terdiri dari kelenjar - kelenjar yang menghasilkan HCl dan pepsinogen, Pakan yang sudah dicerna di abomasum akan diteruskan ke usus halus. Di usus halus terjadi proses penyerapan sari - sari makanan atau nutrien, sisa - sisa makanan yang tidak diserap dikirim ke usus besar. Setelah mengalami penyerapan air, sisa makanan berupa ampas dikeluarkan melalui anus.
2.3 Pengaruh Sistem Pencernaan terhadap Produksi Susu dan Faktor yang Mempengaruhinya
Ako (2011) menyatakan bahwa, komponen dan zat gizi pada air susu antara lain; air, lemak (trigliserida, vitamin yang larut dalam lemak, carotein), protein (kasein, protein whey), lactose, mineral, vitamin yang larut dalam air. Adapun faktor yang mempengaruhi produksi susu pada ternak perah yaitu, faktor internal yang mempengaruhi produksi dan kualitas`air susu antara lain breed, keturunan, masa laktasi, umur, kondisi ternak, siklus estrus dan kebuntingan, sedangkan faktor eksternal antara lain musim, frekuensi pemerahan, pergantian pemerah, masa kering, calving interval, obat-obatan, hormon, penyakit dan makanan atau nutrisi. Faktor yang mempengaruhi sistem pencernaan terhadap produksi susu yaitu zat nutrisi pakan, jenis pakan, dan pemberian pakan dalam jumlah seimbang yang diberikan kepada ternak perah. Sesuai dengan Mc Donald et al (1988) dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa pemberian formula ransum yang tepat merupakan hal penting dalam efisiensi pemanfaatannya, kekurangan satu atau lebih zat makanan akan menurunkan efisiensi produk.
Campbell (1961) menuturkan dalam Siregar (2001) menyatakan bahwa sapi perah yang mempunyai kemampuan berproduksi susu tinggi membutuhkan zat gizi yang relatif banyak dalam pakannya. Pemberian pakan dua kali dalam sehari menyebabkan ketidakmampuan sapi perah untuk mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang relatif banyak. Hal ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan meningkatkan frekuensi pemberian pakan lebih dari dua kali dalam sehari. Penelitian yang dilakukan pada sapi perah yang sedang berproduksi susu menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali sehari akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan, kadar lemak susu, dan produksi susu. Penelitian yang dilakukan Mccullough (1973) dalam Siregar (2001) pada sapi-sapi perah yang sedang berproduksi di Denmark menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan empat kali dalam sehari ternyata mampu meningkatkan kemampuan berproduksi susu sampai dengan 54,8%.
Preston dan Leng (1987) menyatakan dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa sapi pada umumnya hanya diberikan rumput sebanyak 10% dari bobot hidup. Pemberian rumput yang berlebihan akan mempercepat distensi lambung, karena rumput bersifat amba, akibatnya ternak akan berhenti mengkonsumsi ransum, meskipun kebutuhan nutrisinya belum terpenuhi. Di lapang sering peternak memberikan rumput kurang dari 10% karena ketersediaan rumput terbatas, akibatnya ternak menderita kekurangan makanan terutama energi. penurunan presentase rumput dalam rumen akan mengakibatkan produksi asam asetat dalam rumen yang merupakan sumber energi untuk sapi serta prekursor asam lemak susu menurun. Sebaliknya bila presentase rumput dalam ransum semakin meningkat. Asam lemak susu akan menurun bila asam asetat dalam rumen kurang dari 40% atau lebih dari 60% dalam total asam lemak terbang. Pemberian hijauan dalam ransum dapat meningkatkan proporsi asam asetat pada total VFA rumen. Oleh karena itu, rumput sebagai sumber hijauan dalam ransum sapi tidak boleh kurang pemberiannya. Kekurangan atau kelebihan hijauan dalam ransum akan berpengaruh pada tingkat kelarutan dan tingkat retensi ransum tersebut, yang pada gilirannya akan mengurangi konsumsi ransum dan produksi(Mc Graham, 1964 dalam Suherman 2005.
Variasi dalam produksi susu dan lemak pada beberapa peternakan sapi perah disebabkan oleh perbedaan dalam makanan dan tatalaksananya. Makanan yang terlalu banyak konsentrat akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Menurut Lubis (1989) dalam Suherman (2005) menyatakan bahwa pemberian protein 14% dalam ransum dibandingkan 18% tidak memberikan perbedaan produksi susu, sehingga pemberian protein atau konsentrat yang berlebihan tidak efisien. Jumlah konsumsi protein lebih penting daripada kadarnya dalam ransum. Van Soest (1982) dalam Suherman (2005) menambahkan bahwa kelebihan pemberian konsentrat selain tidak efisien karena harganya juga mahal dapat menyebabkan perkembangan mikroba rumen berubah dan rumen menjadi kurang mampu mencerna serat. Akibat lain dapat meningkatkan produksi metan dan menyebabkan kelainan pada abomasum sapi yang pada akhirnya dapat merusak sistem pencernaan dan menurunnya produksi susu.
Ada beberapa cara pemberian makanan untuk menekan peningkatan kandungan lemak susu dan merangsang peningkatan produksi susu seperti:
1. Membatasi bahan makanan yang banyak
mengandung serat kasar. Apabila serat kasar ransum dikurangi sampai 30 % dari
bahan kering dapat menurunkan persentase lemak susu sekitar 2 %. Pemberian hay pada batas 1,5 pon per 100 pon berat badan masih dapat mencegah peningkatan
kandungan lemak air susu.
2.
Meningkatkan ransum biji-bijian.
3.
Mencincang hijauan makanan ternak dengan halus (+ 0,125 inch).
4.
Meningkatkan komposisi jagung dalam ransum.
5.
Sapi digembalakan pada padang rumput yang baik.
Vitamin A dan D tidak disintesa dalam tubuh ternak sapi, oleh karena itu level vitamin A dalam susu dipengaruhi oleh kandungan bahan makanan. Untuk vitamin D dipengaruhi oleh seringnya ternak dikena sinar matahari. Pemberian air adalah penting untuk produksi susu, karena susu terdiri atas 87 % air dan 50% dari badan sapi terdiri atas air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung pada produksi susu yang dihasilkan sapi, suhu sekelilingnya dan jenis makanan yang diberikan. Perbandingan antara susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 3,6. Air yang dibutuhkan setiap hari bagi sapi minimal untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan dibutuhkan air minum sebanyak 4 liter. Sebaiknya sapi diberi air minum secara ad libitum (Ako, 2011).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan rumen adalah pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen dan produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papille rumen. Ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi, alat pencernaannya akan memiliki volume total yang lebih tinggi daripada ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar rendah. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi maka bobot rumennya menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak memakan hijauan (Hungate, 1966). Menurut Quigley (2001), hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu (1) perkembangan bakteri dalam rumen, (2) ketersediaan nutrien, dan (3) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh konsentrat daripada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi. Dengan meningkatnya perkembangan papille maka luas dan kapasitasnya pun akan meningkat akibatnya penyerapan dan koefisien penggunaan nutrien akan bertambah (Wilson & Brigstocke, 1981).
Wilson & Brigstocke (1981) menyatakan bahwa pemberian serat kasar dalam pakan kering selain akan meningkatkan kapasitas rumen-retikulum juga akan meningkatkan bobot jaringan rumen-retikulum. Namun peningkatan ketebalan dinding rumen-retikulum relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ketebalan mukosa akibat perkembangan papille. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papille akan meningkat akibatnya penyerapan dan serta efisiensi penggunaan nutrien akan bertambah.
Rendahnya performans ternak ruminansia desebabkan biosistesis protein mikroba dalam retikulo rumen tidak mencapai maksimum sebagai akibat kekurangmampuan menyediakan amonia (N-NH3) dan asam lemak terbang (volatile fatty acids; VFA) dalam jumlah cukup (Sunarso, 2003). Kartu (Sauropus androgynus) L Merr. Bisa dijadikan alternatif sebagai seplemen ransum dalam rangka meningkatkan produktivitas susu sapi perah. Katu mengandung beberapa zat kimia, antara lain: asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (androstan) yang berfungsi untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam pemanjangan sistem saluran; hormon progesteron berfungsi untuk meningkatkan (pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran dan hormon laktogen plasenta berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel.
Kandungan kimia lain katu adalah asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetate yang berperan dalam meningkatkan kinerja mikroba ruman, sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan meningkatkan VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam butirat akan meningkat pula. Asam buirat dan asam atetat digunakan sebagai bahan sintesis susu dan asam propionat pada proses gluconeogenesis di hati akan diubah menjadi glukosa, dan glukosa akan diubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air di dalam susu, sehingga produksi susu juga bisa meningkat.
Kecernaan pada ruminansia tergantung pada populasi dan jenis mikroba yang terdapat dalam rumen. Kehidupan mikroba rumen tergantung pada jumlah nutrien yang berasal dari pakan. Untuk perkemangbiakan mikroba rumen membutuhkan minimal 8 % protein paka atau rata-rata membutuhkan minimal 50mg/l cairan rumen. Difisiensi protein akan menurunkan aktivitas milkflora rumen dan laju digesti sellulosa. Konsentrasi NH3 yang optimal diperlukan untuk memaksimalkan laju fermentasi di dalam rumen dan juga memaksimalkan sintesis protein mikroba (Shein et al, 1998). Bakteri selulolitik membutuhkan NH3 sebagai sumber N (Laboux dan Peyraud, 1998).
Chikunya et al (1996) menyatakan bahwa amonia merupakan prekursor utama protein mikroba dan esensial untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri rumen. Fermentasi dapat menyebabkan terjadinya depolimerasi subtrat. Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral pada subtrat pakan akan mengalami perubahan oleh aktivitas dan perkembangbiakan mikroba (Pederson, disitasi Nurwantara et al, 2001). Menurut Winarno dan Fardiaz disitasi Nurwantara et al (2001), proses fermentasi pada subtrat pakan akan menghasilkan nilai gizi yang lebih baik karena adanya aktivitas mikroba yang katabolik dan menghasilkan enzim untuk merubah komponen pakan kompleks menjadi bentuk sederhana.
Proses fermentasi suatau bahan pakan dapat diartikan sebagai proses biokimia yang menghasilkan energi, komponen organik bertindak sebagai penerima elektron (suwaryono dan Ismeini, disitasi Nurwantara et al, 2001). Efisiensi produksi diukur dengan membandingkan produksi energi dalam susu dengan kebutuhan energi pakan. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut menunjukan semakin tinggi efisiensi produksi dari ternak yang bersangkutan. Maka dari itu efisiensi produksi menjadi penting sebab sebuah teknologi akan layak diterapkan kalau tingkat efisiensinya memadai. Dikatakan lebih lanjut bahwa efisiensi produksi sapi perah berkisar 28-34%. Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa rata-rata efisiensi produksi air susu kelompok domba yang disuperovulosi lebih tinggi (31,82%) dibandingkan dengan kelompok domba yang nirsuperovulasi.
2.4 Penyakit yang Mengganggu Sistem Pencernaan
Penyakit akibat gangguan sistem pencernaan meliputi:
2.4.1 Gastritis
Gastritis adalah suatu peradangan pada mukosa lambung, tidak berlangsung lama sehingga mukosa lambung dapat rusak dengan mudah. Sebelum diadakannya penelitian banyak yang meyakini bahwa rusaknya mukosa lambung dikarenakan makanan yang menyebabkan iritasi pada lambung. Sedangkan para ahli sekarang lebih meyakini bahwa asam lambung yang berlebihlah penyebab rusaknya mukosa lambung karena getah lambung yang mengandung pH atau tingkat keasaman yang sangat asam pH sekitar 2, yang mampu melelehkan paku besi sekalipun, apabila mitosis tidak berlangsung untuk memproduksi sel-sel dan jaringan yang baru pada mukosa lambung, maka mukosa tidak akan bertahan lama dan terjadi kerusakan. Mitosis (pembelahan sel pada sel tubuh) yang ideal agar mencegah penggerusan mukosa oleh asam lambung yakni terjadi tiap konstipasi 3 hari sekali.
2.4.2 Kontipasi
Konstipasi adalah suatu gangguan pencernaan yang ditandai dengan tinja (feses) yang cenderung kering dan keras dan menumpuk pada kolon, dikarenakan lambatnya penyerapan cairan. Penyebab konstipasi adalah kurangnya asupan serat yang dapat membuat tekstur Pankreasitislebih basah.
2.4.3 Pankreasitis
Pankreasitis adalah suatu peradangan pada pankreas. Pankreasitis dapat berlangsung cepat dan parah (akut) maupun berlangsung lama (kronis). Pankreasitis disebabkan oleh alkohol dan terhambatnya tonjolan vateri (akhir saluran pengeluaran pankreas) oleh batu empedu.
2.4.4 Diare
Diare terjadi akibat pergerakan yang terlalu cepat dari tinja sepanjang usus besar. Pada diare, infeksi paling luas terjadi pada usus besar dan pada ileum. Di manapun infeksi terjadi, mukosa akan teriritasi secara luas sehingga kecepatan sekresinya sangat tinggi. Diare ada yang disebabkan oleh bakteri kolera dan terkadang oleh bakteri lain seperti Bacillus, yang merupakan patogen usus besar. Toksin kolera menstimulus sekresi elektrolit dan cairan yang berlebihan dari ileum dan usus besar. Toksin ini secara spesifik meningkatkan mekanisme pertukaran bikarbonat yang sangat besar untuk disekresikan bersama dengan ion natrium dan air. Kehilangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan kematian.
2.4.5 Flatus
Flatus adalah masuknya gas-gas dalam saluran pencernaan. Gas-gas terlebut merupakan gas-gas yang tertelan, gas yang dihasilkan bakteri, atau gas dari difusi darah yang masuk ke saluran pencernaan. Gas nitrogen dan oksigen lebih banyak berada dalam lambung dan dapat dikeluarkan dengan bersendawa. Gas-gas yang lain, yaitu CO2, metana, dan hidrogen, lebih banyak berada di dalam usus besar yang dihasilkan oleh bakteri.
2.4.6 Tukak Lambung
Tukak Lambung (Ulkus) Dinding lambung diselubungi mukus yang di dalamnya juga terkandung enzim. Jika pertahanan mukus rusak, enzim pencernaan akan memakan bagian-bagian kecil dari lapisan permukaan lambung. Hasil dari kegiatan ini adalah terjadinya tukak lambung. Tukak lambung menyebabkan berlubangnya dinding lambung sehingga isi lambung jatuh di rongga perut. Sebagian besar tukak lambung ini disebabkan oleh infeksi bakteri jenis tertentu. Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis; merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium).
2.4.7 Kolik
Gangguan lain adalah salah cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada lambung.
Vitamin A dan D tidak disintesa dalam tubuh ternak sapi, oleh karena itu level vitamin A dalam susu dipengaruhi oleh kandungan bahan makanan. Untuk vitamin D dipengaruhi oleh seringnya ternak dikena sinar matahari. Pemberian air adalah penting untuk produksi susu, karena susu terdiri atas 87 % air dan 50% dari badan sapi terdiri atas air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung pada produksi susu yang dihasilkan sapi, suhu sekelilingnya dan jenis makanan yang diberikan. Perbandingan antara susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 3,6. Air yang dibutuhkan setiap hari bagi sapi minimal untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan dibutuhkan air minum sebanyak 4 liter. Sebaiknya sapi diberi air minum secara ad libitum (Ako, 2011).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan rumen adalah pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen dan produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papille rumen. Ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi, alat pencernaannya akan memiliki volume total yang lebih tinggi daripada ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar rendah. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi maka bobot rumennya menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak memakan hijauan (Hungate, 1966). Menurut Quigley (2001), hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu (1) perkembangan bakteri dalam rumen, (2) ketersediaan nutrien, dan (3) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh konsentrat daripada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi. Dengan meningkatnya perkembangan papille maka luas dan kapasitasnya pun akan meningkat akibatnya penyerapan dan koefisien penggunaan nutrien akan bertambah (Wilson & Brigstocke, 1981).
Wilson & Brigstocke (1981) menyatakan bahwa pemberian serat kasar dalam pakan kering selain akan meningkatkan kapasitas rumen-retikulum juga akan meningkatkan bobot jaringan rumen-retikulum. Namun peningkatan ketebalan dinding rumen-retikulum relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ketebalan mukosa akibat perkembangan papille. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papille akan meningkat akibatnya penyerapan dan serta efisiensi penggunaan nutrien akan bertambah.
Rendahnya performans ternak ruminansia desebabkan biosistesis protein mikroba dalam retikulo rumen tidak mencapai maksimum sebagai akibat kekurangmampuan menyediakan amonia (N-NH3) dan asam lemak terbang (volatile fatty acids; VFA) dalam jumlah cukup (Sunarso, 2003). Kartu (Sauropus androgynus) L Merr. Bisa dijadikan alternatif sebagai seplemen ransum dalam rangka meningkatkan produktivitas susu sapi perah. Katu mengandung beberapa zat kimia, antara lain: asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (androstan) yang berfungsi untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam pemanjangan sistem saluran; hormon progesteron berfungsi untuk meningkatkan (pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran dan hormon laktogen plasenta berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel.
Kandungan kimia lain katu adalah asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetate yang berperan dalam meningkatkan kinerja mikroba ruman, sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan meningkatkan VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam butirat akan meningkat pula. Asam buirat dan asam atetat digunakan sebagai bahan sintesis susu dan asam propionat pada proses gluconeogenesis di hati akan diubah menjadi glukosa, dan glukosa akan diubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air di dalam susu, sehingga produksi susu juga bisa meningkat.
Kecernaan pada ruminansia tergantung pada populasi dan jenis mikroba yang terdapat dalam rumen. Kehidupan mikroba rumen tergantung pada jumlah nutrien yang berasal dari pakan. Untuk perkemangbiakan mikroba rumen membutuhkan minimal 8 % protein paka atau rata-rata membutuhkan minimal 50mg/l cairan rumen. Difisiensi protein akan menurunkan aktivitas milkflora rumen dan laju digesti sellulosa. Konsentrasi NH3 yang optimal diperlukan untuk memaksimalkan laju fermentasi di dalam rumen dan juga memaksimalkan sintesis protein mikroba (Shein et al, 1998). Bakteri selulolitik membutuhkan NH3 sebagai sumber N (Laboux dan Peyraud, 1998).
Chikunya et al (1996) menyatakan bahwa amonia merupakan prekursor utama protein mikroba dan esensial untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri rumen. Fermentasi dapat menyebabkan terjadinya depolimerasi subtrat. Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral pada subtrat pakan akan mengalami perubahan oleh aktivitas dan perkembangbiakan mikroba (Pederson, disitasi Nurwantara et al, 2001). Menurut Winarno dan Fardiaz disitasi Nurwantara et al (2001), proses fermentasi pada subtrat pakan akan menghasilkan nilai gizi yang lebih baik karena adanya aktivitas mikroba yang katabolik dan menghasilkan enzim untuk merubah komponen pakan kompleks menjadi bentuk sederhana.
Proses fermentasi suatau bahan pakan dapat diartikan sebagai proses biokimia yang menghasilkan energi, komponen organik bertindak sebagai penerima elektron (suwaryono dan Ismeini, disitasi Nurwantara et al, 2001). Efisiensi produksi diukur dengan membandingkan produksi energi dalam susu dengan kebutuhan energi pakan. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut menunjukan semakin tinggi efisiensi produksi dari ternak yang bersangkutan. Maka dari itu efisiensi produksi menjadi penting sebab sebuah teknologi akan layak diterapkan kalau tingkat efisiensinya memadai. Dikatakan lebih lanjut bahwa efisiensi produksi sapi perah berkisar 28-34%. Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa rata-rata efisiensi produksi air susu kelompok domba yang disuperovulosi lebih tinggi (31,82%) dibandingkan dengan kelompok domba yang nirsuperovulasi.
2.4 Penyakit yang Mengganggu Sistem Pencernaan
Penyakit akibat gangguan sistem pencernaan meliputi:
2.4.1 Gastritis
Gastritis adalah suatu peradangan pada mukosa lambung, tidak berlangsung lama sehingga mukosa lambung dapat rusak dengan mudah. Sebelum diadakannya penelitian banyak yang meyakini bahwa rusaknya mukosa lambung dikarenakan makanan yang menyebabkan iritasi pada lambung. Sedangkan para ahli sekarang lebih meyakini bahwa asam lambung yang berlebihlah penyebab rusaknya mukosa lambung karena getah lambung yang mengandung pH atau tingkat keasaman yang sangat asam pH sekitar 2, yang mampu melelehkan paku besi sekalipun, apabila mitosis tidak berlangsung untuk memproduksi sel-sel dan jaringan yang baru pada mukosa lambung, maka mukosa tidak akan bertahan lama dan terjadi kerusakan. Mitosis (pembelahan sel pada sel tubuh) yang ideal agar mencegah penggerusan mukosa oleh asam lambung yakni terjadi tiap konstipasi 3 hari sekali.
2.4.2 Kontipasi
Konstipasi adalah suatu gangguan pencernaan yang ditandai dengan tinja (feses) yang cenderung kering dan keras dan menumpuk pada kolon, dikarenakan lambatnya penyerapan cairan. Penyebab konstipasi adalah kurangnya asupan serat yang dapat membuat tekstur Pankreasitislebih basah.
2.4.3 Pankreasitis
Pankreasitis adalah suatu peradangan pada pankreas. Pankreasitis dapat berlangsung cepat dan parah (akut) maupun berlangsung lama (kronis). Pankreasitis disebabkan oleh alkohol dan terhambatnya tonjolan vateri (akhir saluran pengeluaran pankreas) oleh batu empedu.
2.4.4 Diare
Diare terjadi akibat pergerakan yang terlalu cepat dari tinja sepanjang usus besar. Pada diare, infeksi paling luas terjadi pada usus besar dan pada ileum. Di manapun infeksi terjadi, mukosa akan teriritasi secara luas sehingga kecepatan sekresinya sangat tinggi. Diare ada yang disebabkan oleh bakteri kolera dan terkadang oleh bakteri lain seperti Bacillus, yang merupakan patogen usus besar. Toksin kolera menstimulus sekresi elektrolit dan cairan yang berlebihan dari ileum dan usus besar. Toksin ini secara spesifik meningkatkan mekanisme pertukaran bikarbonat yang sangat besar untuk disekresikan bersama dengan ion natrium dan air. Kehilangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan kematian.
2.4.5 Flatus
Flatus adalah masuknya gas-gas dalam saluran pencernaan. Gas-gas terlebut merupakan gas-gas yang tertelan, gas yang dihasilkan bakteri, atau gas dari difusi darah yang masuk ke saluran pencernaan. Gas nitrogen dan oksigen lebih banyak berada dalam lambung dan dapat dikeluarkan dengan bersendawa. Gas-gas yang lain, yaitu CO2, metana, dan hidrogen, lebih banyak berada di dalam usus besar yang dihasilkan oleh bakteri.
2.4.6 Tukak Lambung
Tukak Lambung (Ulkus) Dinding lambung diselubungi mukus yang di dalamnya juga terkandung enzim. Jika pertahanan mukus rusak, enzim pencernaan akan memakan bagian-bagian kecil dari lapisan permukaan lambung. Hasil dari kegiatan ini adalah terjadinya tukak lambung. Tukak lambung menyebabkan berlubangnya dinding lambung sehingga isi lambung jatuh di rongga perut. Sebagian besar tukak lambung ini disebabkan oleh infeksi bakteri jenis tertentu. Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis; merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium).
2.4.7 Kolik
Gangguan lain adalah salah cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada lambung.
BAB III
KESIMPULAN
- Sistem pencernaan terbagi menjadi dua bagian yaitu Tractus Alimentarius dan Organa Accesorius. Tractus Alimentarius meliputi rongga mulut, faring, esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, abomasum), usus halus, dan usus besar. Organa Accesorius meliputi dentes, lingua, glandula salivarius, hepar, pancreas, dan limpa.
- Mekanisme atau proses pencernaan makanan pada ruminansia : Pakan diambil melalui mulut (prehensi), dikunyah (mastikasi), dilumuri saliva (in salivasi), ditelan (degluitasi), oesophagus, rumen, retikulum, Regurgitasi, Remastikasi, Re - insalivasi, Omasum, Abomasum, Usus Halus (Duodenum, Jejenum, Ileum), Usus Besar, Rektum, Anus.
- Faktor yang mempengaruhi produksi susu pada ternak perah yaitu faktor internal yang mempengaruhi produksi dan kualitas air susu antara lain breed, keturunan, masa laktasi, umur, kondisi ternak, siklus estrus dan kebuntingan, sedangkan faktor eksternal antara lain musim, frekuensi pemerahan, pergantian pemerah, masa kering, calving interval, obat - obatan, hormon, penyakit dan makanan atau nutrisi. Faktor yang mempengaruhi sistem pencernaan terhadap produksi susu yaitu zat nutrisi pakan, dan pemberian pakan dalam jumlah seimbang yang diberikan kepada ternak perah.
- Penyakit akibat gangguan sistem pencernaan pada sapi :
- Gastritis
- Katipasi'
- Pankreasitis
- Diare
- Flatus
- Tukak Lambung
DAFTAR PUSTAKA
Ako, Ambo. 2011. Buku
Ajar Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Astuti, Triana Yuni,
Mardjono, dan Haryati. 2001. Buku
Ajar Dasar Ternak Perah. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
soedirman. Purwokerto.
Frandson, R D. 1992. Anantomi
dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harfiah. 2009. Peningkatan
Kualitas Pakan Berserat dengan Perlakuan Alkali, Amoniasi, dan Fermentasi
dengan Mikroba Selulolitik dan Lignolitik. J. Sains & Teknologi, Vol. 9,
No. 2: 150-156. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.
http://id.shvoong.com./exact-sciences/biology/2162354-sistem-pencernaan-makanan-pada-hewan/#ixzz1u0nFe4ek, diakses pada tanggal 4 mei 2012.
Siregar, Sori B. 2001. Peningkatan kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah Laktasi melalui
perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
Vol.6, No.2, tahun 2001. Balai penelitian ternak.
Suherman, Dadang. 2005. Imbangan Rumput Lapangan dan Konsentrat dalam Ransum terhadap Kualitas
Produksi Susu Sapi Perah Holstein. Animal Production, Vol.7, No. 1, Januari
2005: 14-20. Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Suparwi. 2011. Ilmu
Nutrisi Ruminansia. Universitas Jenderal Sordirman. Purwokerto.
Sumardi. 2008. Jumlah Mikroba ph Rumen serta Efisiensi Produksi
Susu Sapi Friesh Holstein akibat penambahan tepung daun Datu dalam (Sauropus androgynus , L. merr) Rangsum.
STIP Farming. Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar